SMS BERHADIAH TERMASUK JUDI?
Dengan memakai baju koko dan kopyah, serta back ground Masjidil Haram Makkah Al-Mukarramah, dua pelawak terkenal
Inilah gambaran ringkas program SMS umrah di stasiun TV lokal Jawa Timur beberapa bulan lalu. Setelah usai program ini, stasiun TV tersebut membuat banyak program kuis SMS yang berbeda, meski dengan modus sama, seperti SMS THR saat menjelang lebaran kemarin dan SMS berhadiah rumah idaman.
Sebenarnya bukan hanya stasiun TV lokal itu saja yang memiliki program kuis berhadiah melalui SMS. Sejumlah stasiun TV telah lama memiliki program serupa. Kita masih ingat, beberapa bulan lalu Lativi memiliki Kuis Bolam (kuis berhadiah olah raga malam), Goyang Pol di RCTI, Kira-kira dan Klop di Global TV, dan Iseng-iseng dan Kuis Dangdut di TPI. Dan saat ini, kuis serupa diformat dalam berbagai acara, terutama dalam program ajang pencarian bakat semisal AFI dan Indonesia Idol atau dalam program olahraga.
Meski bentuknya berbeda, kuis-kuis SMS tersebut memiliki mekanisme dan modus operandi yang sama; pemirsa mengirim SMS premium (Rp. 2000 atau Rp. 1000) ke nomor tertentu, kemudian mendapat pertanyaan dan setelah diundi pemenangnya berhak mendapat hadiah tertentu.
Di tengah persaingan stasiun TV yang semakin ketat akhir-akhir ini, kuis SMS menjadi salah satu program pilihan mendapatkan keuntungan berlimpah. Bila dihitung-hitung, keuntungan program tersebut jauh berlipat kali dibandingkan hadiah yang disediakan. Seumpama ada 10.000 SMS yang masuk dalam sehari, dengan harga premium call Rp. 2000, maka akan diperoleh pemasukan sebesar Rp. 20.000.000/hari. Dalam sebulan, penyelenggara akan mendapatkan Rp. 600.000.000. Bila dikalikan selama 3-4 bulan, tentu saja jumlahnya jauh berlipat-lipat.
Jumlah ini tentu jauh berlipat ganda daripada hadiah yang disediakan berupa tiket umrah yang berkisar Rp. 30-50 juta, rumah, sepeda motor, atau beberapa HP.
Budaya Instan
Saat menghadiri Rakerda MUI se-Kalimantan Tengah di Palangkaraya (9/9/06), ketua komisi Fatwa MUI pusat saat itu, KH. Ma’ruf Amin, mengungkapkan saat itu setidaknya terdapat 60 kuis SMS berhadiah yang disinyalir mengandung unsur judi sehingga dinilai haram.
Budaya Instan
Saat menghadiri Rakerda MUI se-Kalimantan Tengah di Palangkaraya (9/9/06), ketua komisi Fatwa MUI pusat saat itu, KH. Ma’ruf Amin, mengungkapkan saat itu setidaknya terdapat 60 kuis SMS berhadiah yang disinyalir mengandung unsur judi sehingga dinilai haram.
Pernyataan itu merupakan hasil kesimpulan evaluasi MUI pusat dengan Departemen Sosial tahun lalu. Lebih jauh KH. Ma’ruf Amin mengungkapkan, sebuah kuis SMS berhadiah dianggap judi bila terdapat unsur pertaruhan di dalamnya. Selain itu, hadiah yang diberikan bersumber dari akumulasi hasil perolehan SMS di mana tarif SMS tersebut di luar ketentuan normal.
Apa yang dinyatakan KH. Ma’ruf Amin di atas sebenarnya adalah pengulangan atas fatwa MUI tentang haramnya SMS berhadiah dalam forum Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia di Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor Ponorogo, 26 Mei 2006 lalu. Dalam fatwa ini MUI menilai kuis SMS berhadiah sebagai perjudian, sehingga berhukum haram, karena kuis tersebut mengandung unsur mengundi nasib dengan cara mudah, pemborosan, dan menghambur-hamburkan uang untuk permainan yang tidak jelas.
Kriteria tersebut sesuai dengan makna judi secara literal. Dalam Bahasa Arab Judi dikenal dengan kata “al-Maysir†dari akar kata (masdar) “al-yusru†(mudah), atau “al-yasru†(kaya). Dengan demikian perjudian merupakan sarana untuk menjadi kaya dengan cara yang mudah.
Beranjak dari makna literal itu, Yusuf al-Qaradlawi dalam “al-Halal wa al-Haram fie al-Islam†mendefinisikan judi sebagai: “Segala permainan yang mengandung untung atau rugi bagi pelakunyaâ€. Secara lebih jelas Muhammad Ali al-Shabuni dalam “Tafsir Rawai’u al-Bayan†memberikan pengertian judi sebagai: “permainan yang menimbulkan keuntungan bagi sebagian orang dan kerugian bagi sebagian yang lainâ€.
Beranjak dari makna literal itu, Yusuf al-Qaradlawi dalam “al-Halal wa al-Haram fie al-Islam†mendefinisikan judi sebagai: “Segala permainan yang mengandung untung atau rugi bagi pelakunyaâ€. Secara lebih jelas Muhammad Ali al-Shabuni dalam “Tafsir Rawai’u al-Bayan†memberikan pengertian judi sebagai: “permainan yang menimbulkan keuntungan bagi sebagian orang dan kerugian bagi sebagian yang lainâ€.
Dalam konteks kuis SMS berhadiah, keuntungan material akan didapatkan oleh pihak penyelenggara dan pemenang kuis tersebut, sementara pihak lain pengirim SMS yang berjumlah jauh lebih banyak, menderita kerugian karena kehilangan pulsa dalam jumlah besar. Karena hanya menguntungkan satu pihak, transaksi ekonomi model ini dilarang oleh Islam.
Dalam al-Qur’an Surat al-Maidah ayat 90-91 secara tegas menyatakan larangan hal itu. Dalam kedua ayat tersebut Allah menegaskan keharaman judi sama dengan keharaman minuman keras (khamr) dan syirik. Bahkan Allah menilai judi dan minuman keras merupakan sumber keresahan sosial karena dapat menimbulkan kebencian dan permusuhan.
Selain itu, judi sebenarnya adalah refleksi kebudayaan instan ayang berakar dari pola pikir pragmatisme. Orang yang terkena penyakit kepribadian seperti ini memiliki keinginan untuk hidup senang (kaya, sukses), namun mereka tidak berani menjalani tangga-tangga kesuksesan tersebut secara bertahap. Jalan pintas menjadi alternatif bagi mereka untuk mewujudkan keinginan tersebut.
Fenomena perjudian hanyalah salah satu jalan pintas itu. Selain judi, jalan pintas lain yang telah mentradisi di negeri ini adalah korupsi, nepotisme, dan kolusi. Karena instan, jalan-jalan tersebut hanya memberikan solusi yang sementara dan parsial. Secara sepintas jalan-jalan tersebut menjanjikan keuntungan, namun hakikatnya keuntungan itu bukanlah keberuntungan, melainkan kebuntungan, baik bagi pelakunya maupun masyarakat. Karena itu KH. Mustafa Bisri dalam buku “Fikih Keseharian Gus Mus†menyebut keuntungan hasil jalan instan sebagai istidraj (memperdaya).
SMS Berhadiah, Judi?
SMS Berhadiah, Judi?
Tetapi apakah kuis SMS berhadiah di beberapa stasiun TV dapat dianggap sebagai judi?. Untuk menetapkan hal itu perlu pengkajian mendalam. Ada beberapa hal yang perlu mendapat klarifikasi terkait penyelenggaraan kuis SMS berhadiah tersebut.
Pertama, apakah hadiah dalam kuis tersebut diambilkan dari akumulasi nilai SMS yang masuk, ataukah dari sponsor? Bila hadiah itu diambil dari akumulasi SMS yang masuk, maka kuis SMS berhadiah itu termasuk judi.
Kedua, besaran harga SMS Rp. 1000 dalam kuis tersebut dilakukan oleh penyelenggara untuk mengambil untung atau sekedar sebagai pengganti biaya administrasi penyelenggaraan kuis sehingga pihak penyelenggara tidak mengambil keuntungan dari besaran harga per-SMS?. Bila faktor pertama terjadi, maka kuis tersebut dapat dikategorikan judi. Tapi bila hanya untuk menambal pengeluaran penyelenggara dalam penyiapan sarana-prasarana program, maka tidak dikatakan judi.
Ketiga, apakah pemenang kuis SMS berhadiah tersebut ditentukan berdasar jawaban-jawaban yang benar yang diberikan pengirim ketika menjawab pertanyaan penyelenggara, ataukah berdasarkan hasil undian?
Bila pertanyaan yang diterima pengirim SMS berfungsi sebagai sarana seleksi pemenang kuis, maka kuis tersebut tidak dinilai judi. Namun bila sebaliknya, kuis tersebut dapat dikategorikan sebagai perjudian.
Di titik inilah, lembaga-lembaga yang memiliki otoritas seperti MUI, Departemen Sosial, Komisi Penyiaran, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), dan kepolisian perlu meneliti kuis-kuis tersebut dan mempublikasikan hasilnya kepada masyarakat. Dan tentunya, penegakan hukum perlu dilakukan agar kejadian SDSB di masa lalu tidak terulang lagi. (FATA)
pemilih
pilihlah
BERITA - ukasbaik.wordpress.com - A. PendahuluanWacana Sistem Ekonomi Islam sebagai sistem ekonomi alternatif dunia bukanlah isapan jempol. Pada 28 April 1 Mei 2008, di Kuwait digelar perhelatan akbar World Islamic Economic Forum (WIEF) keempat dengan tema Negara-negara Islam sebagai Mitra Pembangunan Global. Perhelatan ini juga dihadiri oleh delegasi non-muslim seperti Tony Blair, mantan PM Inggris dan Bob Hawke, mantan PM Australia.[1]Di Indonesia sendiri, Ekonomi Islam mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Pertumbuhan ini berawal sejak diakuinya dual system perbankan pada tahun 1992 yang mengijinkan beroperasinya sistem perbankan tanpa bunga (Bank Syariah).Bertalian erat dengan hal tersebut, jual beli merupakan aktivitas utama perekonomian baik dalam sistem ekonomi Islam maupun sistem ekonomi lain. Sistem Ekonomi Islam memberikan perhatian serius terhadap permasalahan jual beli. Permasalahan jual beli dibahas secara mendetail oleh banyak ulama di samping masalah ritual ibadah mahdah. Islam tidak mengenal dikotomi
Lihat Sumbernya

PELAKSANAAN HUKUM ISLAM
( Suatu Analisis Sosiologi Hukum)
Oleh :
Cucu Solihah , S.Ag. MH
ABSTRAK
Hukum Islam sebagai suatu sistem hukum yang lengkap dan universal perlu difahami
secara menyeluruh oleh segenap umat manusia, karena kesalahan dalam memahami
hukum Islam akan berdampak pada semakin menjauhnya hukum dari manusia, atau
terlepasnya fungsi pranata hukum dalam masyarakat.1
Paradigma yang berkembang bahwa hukum Islam adalah hukum yang kejam, sadis dan
tidak mempertimbangkan aspek hak asasi manusia( HAM) harus diluruskan seiring
dengan berkembangnya kemampuan manusia untuk memahami hukum sebagai gejala
sosial.
Meskipun keberadaan hukum islam dari Tuhan dan termasuk hak preogratif Tuhan
untuk menentukannya, tapi manusia sebagai objek hukumnya dapat menganalisa
eksistensi hukum Islam itu sendiri dari sumber-sumber yang ada bagi manusia.
Diantara hukum Islam terdapat beberapa ketentuan hukum baik menyangkut aspek
perdata maupun pidana yang layak untuk dikaji dari segi penetapan hukum bagi
manusia, apakah tetap dalam keadan ketentuan hukum yang pertama (asal) atau dapat
berubah disesuaikan dengan kemampuan manusia yang akan menjalankan hukum itu ?.
KATA KUNCI
1 pranata hukum berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan
masyarakat, untuk memenuhi kebutuhan itu dilakukan penataan kehidupan bersama yang mengacu kepada
patokan tingkah laku yang disepakati, yaitu hukum. lihat dalam Hukum Islam Dalam tatanan
masyarakat Indonesia , Cik Hasan Bisri (penyunting). Aspek - aspek sosiologis hukum Islam di
Hukum Islam merupakan alat tool bagi terlaksanannya keadilan masyarakat yang harus
di implementasikan secara kontekstual
PEMBAHASAN
Hukum Islam sebagai bagian dari system hukum yang ada, mempunyaai keunikan
tersendiri dari berbagai sistem hukum yang ada, hal ini dikarenakan sumber hukum
Islam dari al-qur’an dan as-sunnah yang merupakan sumber hukum yang berasal dari
Tuhan dan Rasul-Nya, sehingga sangat dimungkinkan tujuan-tujuan hukum akan sesuai
dengan tujuan penciptanya yang tergambar dari nilai-nilai hukum itu sendiri bagi
masyarakat yang diaturnya atau hukum Islam juga berfungsi sebagai kontrol sosial
masyarakat.
Dalam teori sosial, fungsi hukum sebagai kontrol sosial mempunyai 4 prasarat
fungsional dari suatu system hukum, yaitu (1) masalah dasar legitimasi, yakni
menyangkut ideology yang menjadi dasar penataan aturan hukum, (2) masalah hak dan
kewajiban masyarakat yang menjadi sasaran regulasi hukum beserta proses hukumnya,
(3) masalah sanksi dari lembaga yang menerapkan sanksi tersebut, dan (4) masalah
kewenangan aturan hukum2
Keempat prasarat tersebut telah diakomodir dalam system hukum Islam, karena
ketentuan hukum Islam berdasarkan ketentuaan hukum yang idiologis, terdapatnya hak
dan kewajiban yang berkonsekwensi pada penegakan proses hukumnya jika terjadi
penyelewengan terhadap hak dan kewajiban, sanksi dari tindakaan hukum yang
dilakukan dan masalah kewenangan aturan hukum sangat memungkinkan untuk
berubah
Setiap hukum akan membentuk fungsinya di dalam masyarakat termasuk hukum Islam,
dan menurut A.G. Peter paling sedikit ada 3 (tiga) perspektif fungsi hukum di dalam
masyarakat, 3 pertama perspektif kontrol sosial dari hukum yang merupakan salah satu
2 Parson dalam Tom Campbell. Tujuh teori social (sketsa penilaian dan perrbandingan )Kanisius.
Yogyakerta. 1994. hal. 220
3 pandangan tentang hukum demikian dikemukakan oleh A.G. Peter lihat dalam Ronny Soemitro. Studi
hukum dalam masyarakat. Alumni. Bandung . 1985 ; hal. 10
dari konsep-konsep yang paling banyak digunakan dalam studi-studi kemasyarakatan.
Dalam perspektif ini dapat dikatakan bahwa tidak ada masyarakat yang mampu hidup
langgeng tanpa adanya kontrol sosial dari hukum sebagai sarananya.
Kedua, perspektif sosial engineering, yang merupakan tinjauan yang paling banyak
dipergunakan oleh para pejabat untuk menggali sumber-sumber kekuasaan apa yang
dapat di mobilisasi dengan menggunakan hukum sebagai mekanismenya, dan untuk
mewujudkan mobilisasi dengan hukum sebagai alatnya, terdapat prasarat utama yang
harus dipenuhi agar suatu aturan hukum tergolong engginaar, yaitu (1) penggambaran
yang baik dari situasi yang dihadapi, (2) analisa terhadap penilaian-penilaian dan
menentukaan nilai-nilai, (3) verifikasi dari hipotesa-hipotesa dan (4) adanya pengkuran
terhadap efek dari undang-undang yang berlaku.
Pada kasus-kasus tertentu, penilaian terhadap efektifitas hukum Islam menjadi sangat
penting artinya dalam rangka memberikan gambaran yang menyeluruh dari bekerjanya
hukum di masyarakaat sehingga hukum akan mengalami perubahan jika memang
dipandang perlu, dan pada akhirnya dapat diukur dari kemampuan hukum untuk
merubah dan mengatur masyarakatnya.
Berdasarkan hal tersebut di atas,meski hukum Islam itu dari dan bersumber dari Tuhan.
Namun dalam pengimplementasiannya mempertimbangkan pula aspek-aspek penilaian
efek hukum bagi masyarakat yang diaturnya, jika masyarakat (manusia) sebagai objek
hukum itu belum atau tidak mampu melaksanakannya maka hukum akan bertindak
sesuai dengan kadar kemampuan manusianya tetapi tetap dengan tidak merubah tujuan
adanya hukum.
Ketiga, perspektif emansipasi masyarakat terhadap hukum. Perspektif ini merupakan
tinjauan dari bawah terhadap hukum yang meliputi objek studi seperti misalnya
kemampuan hukum sebagai sarana penunjang aspirasi masyarakat, budaya hukum,
kesadaran hukum, penegakan hukum dll.
Dalam kajian hukum islam, terdapat aspek kesadaran hukum yang lahir dari
pemahaman masyarakat yang tumbuh dan berkembang seiring dengan tumbuhnya rasa
keyakinan akan konsekwensi hukum, perspektif atau cara pandang manusia terhadap
hukum sehingga melahirkan kesadaran untuk menerima hukum sebagai sarana yang
mampu memberikan rasa aman bagi masyarakat.
Tidak jarang kita jumpai dalam beberapa masalah-masalah hukum islam, masyarakat
mengakui kesalahan-kesalahannya, hal ini menujukkan adanya kesadaran hukum yang
tinggi sekaligus pengakuan terhadap fungsi hukum di dalam masyarakat
Seperti halnya tujuan keberadaan hukum pada umumnya, hukum islam sebagai institusi
sosial mempunyai tujuan untuk menyelengarakan keadilan dalam masyarakat, sebagai
suatu institusi social, maka penyelenggaraan yang demikian itu berkaitan dengan
tingkat kemampuan masyarakat itu sendiri untuk melaksanakannya 4
Hukum menentukan bahwa manusialah yang diakuinya sebagai penyandang hak dan
kewajiban dengan pertimbangan dari segi yang mempunyai arti hukum, sehingga
hukumpun bisa menetukan pilihannnnya tentang manusia mana yang hendak diberi
kedudukan sebagai pembawa hak dan kewajiban tersebut dan apabila hukum sudah
menentukan demikian, maka tertutup kemungkinan bagi orang-orang tersebut untuk
bisa menjadi pembawa hak dan kewajiban.
Hukum islam yang keberadaannya melalui proses pewahyuan oleh “law prophets”
termasuk pada salah satu tipe dasar kekuasaan yang sah, yakni kharismatis, yang
bertumpu pada kesetiaan kepada keistimewaan yang menonjol dari seseorang dan
kepada tatanan yang dikeluarkan oleh orang yang menjadi sanjungan kesetiaan itu,5
atau dengan kata lain figur manusia sebagai suri tauladan ( Nabi Muhaammad saw)
menjadi sangat dominan adanya
Terdapat beberapa ketentuan hukum yang bersumber dari Al-qur’an berbicara dalam hal
Pelaksanaan hukum yang disesuaikan dengan manusia (personal) sebagai objek dari
hukum, seperti halnya untuk tindak kejahatan minuman keras (khamer) diriwayatkan6
bahwa ketika Rasulallah Saw, datang ke Madinah Beliau melihat kaumnya punya
kebiasaan dan tradisi meminum arak dan makan makanan hasil judi. Ketika itu sebagian
4 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum.Citra Aditya Bakti. Bandung . hal.121
5 ibid hal. 225-226
6 Q. Shaaleh dkk. Asbabun Nuzul. Dipenogoro. Bandung . 1995 ; hal. 196
para sahabat bertanya kepada Rasulallah tentang kedua persoalan itu, maka turunlah
jawaban dari Allah, yaitu surat al-Baqarah ayat 219
“ Mereka bertanya kepadamu tentang khamer dan judi. Katakanlah “pada keduanya itu
terdapat dosa besar dan beberapa manfa’at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih
besar dari manfa’atnya…….(QS. Al-Baqorah : 219)
Dengan turunnya ayat itu sebagai jawaban atas persoalan khamer dan judi, maka
dikalangan sahabat lahir pemikiran bahwa khamer dan judi itu tidak haram, tetapi hanya
dosa besar, sehingga kebiasaan minum khamer dan judi itu mereka langgengkan
sebagai kebiasan sehari-hari.
Sampai suatu ketika terjadi peristiwa yang sangat mengejutkan, yaitu seorang imam
sholat dari kaum muhajirin yang sedang mengimami shalat maghrib, terdengar bacaan
sholatnya salah, karena kondisi imam itu sedang mabuk khamer, atas peristiwa ini Allah
menurunkan wahyu sebagai jawaban atas perbuatan Imam sholat itu, dengan teguran
yang lebih keras dari ayat-ayat sebelumnya
‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu sholat, sedang kamu dalam keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan…….(QS. An-Nisa 43)
Demikian pula dengan ayat ini tidak secara tegas memberikan ketentuan akan hukum
judi dan khamer. Hal ini disebabkan karena Allah masih melihat bagaimana kekokohan
dan keteguhan keimanan masyarakat pada saat itu, sehingga sampai pada suatu waktu
telah kokoh dan mantapnya keimanan mereka untuk menerima jawaban tegas akan
haramnya khamer dan judi, bahwa Allah sampai mengatakan keduanya sebagai barang
najis dan merupakan perbuatan syaitan. Sebagaimana Allah jelaskan dalam surat al-
Maidah ayat 90-91.
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamer, berjudi, (berkurban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk
perbuatan syetan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu hendak menimbulkan permusuhan dan
kebencian diantara kamu lantaran meminum khamer dan berjudi itu, dan menghalangi
kamu dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kamu dari mengerjakan
perbuataan itu ”(QS. Al-Maidah : 90-91)
Ketentuan sebagaimana tersebut diatas tidak dilaksanakan dalam waktu singkat akan
tetapi melalui proses yang cukup lama dengan mempertimbangkan unsur kemampuan
manusia untuk menerima ketentuan hukum tersebut
Dalam kasus hukuman pidana bagi seorang pencuri sebagaimana di dapat ketentuan
hukumnya dalam al-qur’an dalam QS. Al-Maidah : 38 laayak untuk dikaji dari aspek
personal (manusia) sebagai sasaran hukum.
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.
Dan Allah Maha perkasa lagi maha bijaksana.”
Pada masa Khalifah Umar bin Khottab ra pernah terjadi pencurian, sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku maka hukuman bagi seorang pencuri adalah harus
dipotong tangganya, namun ketentuan tersebut tidak dilaksanakan, secara sepintas
Umar ra adalah orang pertama yang tidak mengikuti perintah Allah untuk menegakan
hukuman potong tangan bagi pencuri, tindakan umar sebagaimana tersebut di atas
ditunjang dengan berbagai alasan sebagai dasar kekuatan hukum atas putusannya
bukan tanpa alasan.
Umar ra memvonis dengan cara membebaskan hukuman potong tangan kepada
seorang pencuri atas dasar pertimbangan latar belakang pencurian tersebut, saksi dan
bukti menunjukkan bahwa pencuri tersebut melakukan pencurian karena betul-betul
dalam rangka memenuhi kebutuhan makan diri dan keluarganya yang sudah beberapa
hari tidak makan, bukan untuk memperkaya diri sendiri dengan mengambil hak milik
orang lain
Begitupula pada kasus hukuman untuk seorang pezina, dalam sebuah hadits
diriwayatkan :7
7 Hadits dikutif dari Achmad Sunarno (penyunting) kitab Miftahul khithbah wal wa’dhi. Pedoman juru
da’wah disarikan dari al-qur’an dan hadits. Pustaka Amani. Jakarta . 1993 hal. 694
“ Rasulallah Saw, didatangi al- Ghamidiyah, berkata : ‘ aku berzina, karena itu
sucikanlah aku.” Rasulallah ragu-ragu terhadap perempuan itu, sehingga dia berkata”
Anda ragu-ragu terhadapku sebagaimana anda ragu-ragu terhadap ma’iz. Demi Allah,
aku kini benar-benar hamil. Sabda Rasulallah, Pergilah sampai engkau melahirkan .
Setelah melahirkan dia datang lagi kepada Rasulallah dengan membawa anak di dalam
sehelai kain, lalu berkata : Ini aku sudah melahirkan. Sabda Rasulallah; pergilah dan
susuilah anakmu sampai engkau memisahkannya. Setelah anak itu dipisahkannya dia
datang kepada Rasulallah dengan membawa anak itu, dan di tangannya ada potongan
roti, lantas perempuan itu berkata. Ini sudah aku pisahkan, dan dia sudah makan
makanan. Maka Rasulallah menyerahkan bayi itu kepada seorang laki-laki diantara
orang-orang islam, kemudian beliau menyuruh agar perempuan itu digalikan lubang,
maka digalilah lubang untuknya sampai dadanya. Lalu Rasulallah menyuruh manusia
merajamnya, maka dirajamlah dia. Kemudian Khallid bin al-Walid datang dengan
membawa batu dan dilemparkan ke kepalanya sehingga darahnya mengucur ke
dadanya. Setelah itu Khalid memakinya, sementara itu makiannya itu didengar
Rasulallah, Lalu Rasul bersabda: Hai walid pelan-pelan !, Demi Dzat yang nafsuku
ditangan (kekuasaan)-Nya, perempuan itu benar-benar telah bertobat dengan satu tobat
yang sekiranya dijadikan taubat orang-orang yang kekurangan dan dzolim, tentu Allah
telah mengampuninya. Kemudian Rasulullah menyuruh agar dia dishalati dan Beliaupun
shalat untuk perempuan kemudian dikuburkan”. HR.Muslim
KESIMPULAN
Berdasarkan beberapa ketentuan hukum tersebut di atas, pertimbangaan-pertimbangan
hukum dari aspek sosiologisnya menjadi pertimbangan dalam hukum Islam. dengan
mengukur tingkat kemampuan masyarakat itu sendiri untuk melaksanakannya, seperti
halnya ketentuan hukum haramnya khamer dan judi, potong tangan bagi pencuri begitu
juga hukuman cambuk bagi penzina kesemuanya sangat mempertimbangkan aspek –
aspek manusianya.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Sunarno (penyunting) kitab Miftahul khithbah wal wa’dhi. Pedoman juru
da’wah disarikan dari al-qur’an dan hadits. Pustaka Amani. Jakaarta. 1993
Cik Hasan Bisri (penyunting). Aspek - aspek sosiologis hukum Islam di
Ronny Soemitro. Studi hukum dalam masyarakat. Alumni. Bandung . 1985
Tom Campbell. Tujuh teori sosial (sketsa penilaian dan perbandingan ) Kanisius.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum.Citra Aditya Bakti. Bandung .
Q. Shaleh dkk. Asbabun Nuzul. Dipenogoro. Bandung . 1995
RIWAYAT PENULIS
Cucu Solihah, S.Ag, MH. Stap Pengajar Hukum Islam di Fakultas Hukum Universitas
Suryakancana Cianjur
Judi Pembawa Cum LaudeFasilitas Permainan Judi di Seoul, Korea Selatan (Yahoo! News/REUTERS/Jo Yong-Hak)Ulama menentang judi, pendeta dan pastur pun menolaknya. Perjudian dilihat sebagai penyakit sosial yang terlarang menurut kaidah agama samawi. Hukum
Perjudian tidak cuma dipandang sebagai penyakit sosial. Ia pun tergolong tindak pidana menurut
Lantas, apa pula implikasi hukum penetapan perjudian sebagai predicate offence tadi terhadap pencegahan pidana pencucian uang di
Dalam sidang terbuka 14 September lalu di Bandung, M. Aziz, 37 tahun, mantan Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta, yang kini menjabat sebagai anggota DPR-RI dari Fraksi Golkar, dinyatakan lulus. Ia meraih predikat cum laude. Desertasinya sendiri berjudul “Kegiatan Perjudian Sebagai Predicate Offence Tindak Pidana Pencucian Uang Dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia”.
Dalam meneropong kasus pasal judi ini, anggota Komisi III DPR itu menggunakan prinsip hukum utilitarianisme, yang antara lain menyebutkan usaha legislasi itu ditujukan bagi emansipasi individu dari kekangan konstitusional serta ketidakadilan, dan kekuasaan harus mengabdi pada kepentingan khalayak. Adanya negara dan hukum hanya demi manfaat sejati, yakni kebahagiaan rakyat.
Berangkat dari azas utilitarianisme itu, Azis mempertanyakan manfaat UU Perjudian yang disebutkan tak lagi sejalan dengan semangat pluralisme, transparansi, supremasi hukum, dan demokratisasi yang saat ini sedang berkembang dalam masyarakat Indonesia. Pada hemat kader partai beringin itu, ada ketertinggalan pandangan (paradigma) atas masalah perjudian. Pasalnya, dalam kenyataannya, tak semua masyarakat punya pandangan yang seragam.
Pada realaitasnya, kata Azis, pelarangan judi tidak efektif. Omzetnya terus menggunung. Karena itu, ia menyatakan bahwa urusan judi tak perlu dilihat sebagai hal baik atau buruk, melainkan cukup diatur agar memberi manfaat besar bagi masyarakat luas melalui pajak yang ditarik sebagai pendapatan negara. Pada saat yang sama, di negera lain, judi tidak dipandang sebagai perbuatan pidana, dan hal itu berpengaruh terhadap perkembangan sosial di
Belum lagi adanya potensi pemasukan dari perjudian ke kas negara yang bisa digunakan untuk kepentingan publik. Maka, yang diperlukan adalah paradigma bahwa perjudian itu perlu diatur agar benar-benar memberi manfaat bagi publik. Bertitik tolak dari pandangan tersebut, Azis mengatakan diperlukan perubahan cara pandang baru pada perjudian, dari pendekatan represif menjadi preventif.
Dalam konteks ini, Azis merujuk “teori hukum pembangunan”, dengan mengutip pendapat Prof. Mochtar Kusumaatmadja, yang menyatakan bahwa hukum harus dipandang sebagai sarana pembaruan masyarakat. Meski hukum dibangun untuk menciptakan ketertiban, ia harus memberi ruang gerak untuk perubahan, bukan malah menghambat pembaruan demi mempertahankan nilai-nilai lama yang sudah ditinggalkan.
Dengan mengusung tema diskriminalisai (pelagalan) judi itu, jelas Azis memasuki ruang kajian yang sentitif. Peraih master bidang pasar modal

“Saya prihatin melihat kesulitan rakyat kecil di daerah-daerah terpencil,” ujar Azis. Banyak rakyat yang tak berani berobat ke rumah sakit karena lebih cemas pada biaya yang harus ditanggung katimbang penyakitnya sendiri. “Melalui pajak yang dari judi, pemerintah bisa memberi kesejahteraan lebih besar bagi rakyat,” ujarnya pula. Tapi, ia tahu bahwa hukum di
“Bagi etnis tertentu, seperti Tionghoa, Bali, serta sebagian
Azis memberikan ilustrasi menarik tentang kedekatan dunia judi dengan aparat. Ketika usai dilantik sebagai Kapolri, Juli 2005, Jenderal Sutanto menyatakan akan memberantas judi dalam waktu sepekan. Janji memberantas dan menekan sepekan itu, menurut Azis, adalah indikasi bahwa selama ini dunia perjudian ada dalam jangkauan polisi. Judi punya komunitas sendiri, namun bagaimana melakukan diskriminalisai agar uang judi bisa masuk secara sah sebagai pendapatan negara. Azis melakukan observasi ke pusat perjudian mulai dari
Dari serangkaian observasi tersebut, Azis menemukan fakta bahwa diskriminalisasi judi itu bisa dilakukan. Diskriminalisasi itu sendiri berarti proses penghilangan sifat dilarang atau diancam pidana dari suatu tindakan yang semula merupakan tindak pidana. Namun, proses diskriminalisasi judi di
Bahwa bisa terjadi hubungan antara judi dan pencucian uang, Azis mengakuinya. Ruang judi bisa digunakan sebagai jalan melegalkan uang haram hasil dari tindak pidana, mulai korupsi, penggelapan pajak, hingga bisnis narkotika. Dampak praktek pencucian uang itu bisa serius, menurut Azis, termasuk menyebabkan hilangnya kendali pemerintah atas kebijakan ekonominya.
Namun, Azis mengatakan jangan pula soal memberi penafsiran tentang judi secara tunggal. “Sebab, tak ada satu penjelasan pun yang komprehensif tentang judi,” katanya pula. Maksudnya, selain memberikan mudarat, judi juga memberikan manfaat ekonomi. Mengutip data Asosiasi Pengusaha Hiburan Indonesia (Aspehindo), bahwa omset judi di Jakarta pada 2002 mencapai Rp 200 milyar, menurut Azis, pendapatan pemerintah bisa Rp 60 milyar per hari jika pajaknya ditetapkan 30%.
Lebih jauh, Azis berpendapat bahwa hendaknya judi jangan pula dilihat sebagai kegiatan tunggal, karena bersamanya akan lahir pula bisnis perhotelan, pertokoan, jasa boga, transportasi, dan bisnis rekreatif lainnya. Akan banyak tenaga kerja terserap di
Sebagai jalan keluar, menurut Azis, bisa dilakukan deskrimialisasi parsial atas judi tadi. “Caranya dengan melokalisasinya di kawasan tertentu yang jauh dari lingkungan padat penduduk,” katanya. Lokalisasi kawasan judi itu juga bisa menekan dampak buruk dari perjudian itu sendiri.
Dalam sidang terbuka di Unpad itu, Azis sempat membacakan kutipan pidato Perdana Menteri Singapura di depan parlemen mengenai keputusan pemerintah untuk mengijinkan beroperasinya judi kasino, hal yang puluhan tahun diharamkan di
Putut Trihusodo
Sumber:http://www.gatra.com/artikel.php?id=108767
Memberantas Judi dengan Perda?
Oleh: HM Harminto APSALAH satu program seratus hari Gubernur Mardiyanto dan Wakil Gubernur Ali Mufiz ialah pemberantasan perjudian di Jawa Tengah, sebagaimana disampaikan waktu penyampaian visi dan misi, baik pada saat debat publik maupun di depan rapat pleno DPRD menjelang pemilihan gubernur dan wakil.
Penyakit masyarakat yang satu ini memang sangat sulit diberantas. Beberapa faktor yang menyebabkan sulitnya pemberantasan judi terkait dengan masalah akhlak. Masyarakat yang teguh memegang prinsip agama, tentu akan menjunjung tinggi akhlak mulia dan menjauh, bahkan membenci judi. Karena itu, tepat sekali Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kita memasukkan perjudian dalam bab XIV, yaitu bab tentang kejahatan terhadap kesusilaan, karena masalah akhlak berkaitan erat dengan masalah susila atau moral.
Seorang penjudi pada umumnya juga erat keterkaitannya dengan perbuatan amoral lain, sehingga masyarakat Jawa memasukkan perjudian dalam kelompok malima: madat, main (judi), madon, maling, minum (mabuk). Seorang penjudi yang kebetulan "beruntung" memperoleh rezeki haram akan menghabiskan uangnya untuk berfoya-foya di tempat yang haram pula, sedangkan untuk kepentingan keluarga sebagian kecil saja. Belum ada cerita orang menjadi kaya karena judi.
Pengertian Judi
KUHP dalam Pasal 303 ayat 3 menyatakan yang dimaksud judi ialah permainan yang berdasarkan untung-untungan semata, misalnya pemasangan nomor pada judi togel dan menebak nomor mobil. Juga permainan yang berdasarkan kemahiran disertai pertaruhan, misalnya permainan biliar dengan taruhan.
Dikatakan berjudi pula mereka yang tidak ikut bermain biliar tapi ikut bertaruh. Demikian juga lomba burung berkicau, bisa dijadikan media judi. Dari pasal dan ayat ini, pengertian judi cukup luas.
Pasal 303 KUHP, selain memberikan kriteria judi, juga memberikan ancaman hukuman bagi mereka yang memberikan kesempatan dan/atau menawarkan kepada khalayak umum untuk melakukan judi dan menjadikannya sebagai mata pencaharian.
Adapun ancaman pidana bagi mereka yang memberikan fasilitas untuk berjudi dan menjadikannya sebagai mata pencaharian adalah pidana penjara paling lama sepuluh tahun atau pidana denda paling banyak Rp 25 juta.
Dari ketentuan pasal tersebut dapat ditarik simpulan, penjual nomor, pengepul, dan bandar semuanya dapat terkena pidana sebagaimana tersebut dalam Pasal 303.
Judi Togel
Perjudian yang sedang merebak di Jawa Tenegah ialah judi toto gelap (togel). Kios-kios penjual togel bertebaran di mana-mana, di jalan-jalan, dan gang-gang di kampung. Setiap sore selepas magrib sampai larut malam kios togel ramai dikunjungi penggemarnya, tidak terbatas orang tua tetapi juga anak-anak muda. Mereka dengan tekun mengotak-atik nomor yang diperkirakan akan keluar pada tengah malam.
Terhadap kios-kios togel memang sering dilakukan penggerebekan, tapi biasanya yang terkena hanya beberapa kios, karena yang lain tutup pada saat dilakukan razia. Mungkin pada umumnya mereka telah menerima bocoran. Dari siapa bocoran tersebut, tentu dari yang paling tahu kapan akan dilakukan penggerebekan.
Benar yang dikatakan Drs Ali Mufiz MPA bahwa dalam hukum acara pidana, untuk menindak kejahatan diperlukan alat bukti yang sah dan tentu juga cukup kuat serta akurat. Dalam pemberantasan judi togel, ada tiga komponen yang terlibat, yaitu pengecer, pengepul, dan bandar. Menurut beliau, pengecer dan bandar tidak saling mengenal, jadi seolah-olah ada mata rantai yang terputus. Hal inilah yang menyebabkan penindakan terhadap perjudian togel sulit dibuktikan.
Apakah benar demikian? Bukankah pengepul setor uang yang dikumpulkan dari pengecer kepada bandar? Jadi, sebenarnya untuk mengetahui bandarnya, tangkap saja para pengepul dan suruh bernyanyi kepada siapa uang itu disetorkan dan yang menerima setoran terakhir itulah bandarnya. Jadi, menindak bandar judi togel sebenarnya tidak telalu sulit, tinggal niat dan tekad aparat kepolisian sebagai penyidik untuk menindaknya.
Tidak perlu antara pengecer, pengepul, dan bandar saling mengenal sebagaimana dikatakan oleh Drs Ali Mufiz MPA.
Memang untuk memberantas perjudian togel, tiga komponen itu harus ditindak tegas, terutama bandarnya. Kalau sampai saat ini bandar belum pernah ditindak, tentu timbul pertanyaan besar, ada apa gerangan? Selain itu, mereka yang memberikan perlindungan atau menjadi beking perjudian perlu ditindak tegas.
Payung Hukum
Kalau dikatakan bahwa untuk penindakan kejahatan perjudian belum ada payung hukumnya, itu tidak benar sama sekali. Bukankah Pasal 303 KUHP beserta dengan ayat-ayatnya merupakan payung hukum yang cukup kuat? Tinggal memanfaatkan secara maksimal pasal tersebut dan tentu saja iktikad baik para pelaksananya, terutama kepolisian.
Tekad Gubernur Jawa Tengah yang baru untuk memberantas perjudian sampai ke akar-akarnya perlu kita dukung, tapi apakah perlu membuat perda tentang pemberantasan perjudian sebagai perangkat hukum baru untuk melaksanakan tekadnya itu?
Bukankah KUHP merupakan undang-undang yang tingkatnya lebih tinggi dari peraturan daerah dan sudah cukup memadai? Jadi, kalau ada perangkat peraturan daerah yang baru, kemungkinan justru akan timbul kerancuan.
Sangat mengherankan yang dikatakan oleh Wakil Gubernur (ketika belum dilantik) bahwa perda akan mencantumkan pelarangan tempat-tempat perjudian (SM, 19/8/2003). Logikanya, kalau ada tempat yang dilarang, tentu ada tempat yang diizinkan. Setahu penulis, tidak ada satu jengkal tanah pun di Indonesia yang mendapat izin untuk dijadikan tempat perjudian.
Kalau nanti perda mengatur tempat-tempat yang diizinkan sebagai tempat judi, apakah ini tidak berarti pemerintah provinsi melegalkan perjudian? Hal ini sangat bertentangan dengan KUHP Pasal 303.
Adapun untuk pemberdayaan aparatur penegak hukum, cukup dengan koordinasi yang rapi dan sistematis, juga menanamkan disiplin yang kuat serta mental agama yang tangguh. Semua aparat yang bertanggung jawab terhadap pemberantasan judi harus mempunyai tekad dan bahasa yang sama dan penindakan tegas terhadap aparat hukum yang nakal.
Selain itu, para pelaku perjudian, baik pengecer, pengepul, pembeli, apalagi bandar, benar-benar ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku, diadili dan kalau terbukti dijebloskan ke penjara. Jadi, kata kuncinya ialah penegakan supremasi hukum. Kalau ini bisa dilaksanakan, insya Allah Jawa Tengah akan menjadi satu-satunya provinsi tanpa judi.
Lokalisasi Perjudian
Ide melokalisasi perjudian merupakan ide yang sudah lama dikemukakan berbagai kalangan. Kelihatannya ide yang cukup bagus. Sebab, dengan ide tersebut perjudian dapat ditekan perkembangannya, tidak menyebar ke mana-mana. Selain itu, dapat dikenai pajak yang tinggi, sehingga ada pemasukan bagi pemerintah provinsi.
Ide ini kelihatannya mengacu pada yang dilakukan oleh negara jiran
Jadi, lokalisasi ini diperuntukkan bagi warga negara asing non-Islam. Penyebaran dampak negatifnya juga tidak ada, misalnya judi buntutan. Di jalan-jalan tidak tampak penjual judi buntutan, tidak seperti di Jawa Tengah dan
Kalau di Jawa Tengah ada lokalisasi judi, apakah tidak subur kios-kios liar yang menjual judi buntutan? Perlu kita pertanyakan pula kesiapan aparat hukum untuk menangkal dampak negatif dari lokalisasi judi.
Kalau perda yang akan disusun arahnya akan melegalisasi lokalisasi perjudian, sebaiknya campakkan jauh-jauh, karena dampak negatifnya lebih besar daripada manfaatnya. Bukankah Allah SWT telah memperingatkan dalam Surat Al Baqarah ayat 219, "Mereka menanyakan kepadamu tentang khamr (minuman keras) dan judi. Katakanlah, 'Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, sedang dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya." Tanpa maksud menggurui, tentu Pak Ali Mufiz sangat memahami makna ayat ini.
Peran Masyarakat
Penting artinya keikutsertaan masyarakat dalam pemberantasan judi, khususnya judi tradisional, yang biasanya dilakukan saat ada hajatan. Perjudian semacam ini dilakukan secara sporadis, tempatnya tidak menentu, dan bandarnya bisa berganti-ganti.
Demikian juga para pemuka agama, ulama, khususnya dalam pencegahan secara preventif, peningkatan iman dan takwa sehingga masyarakat tahu benar mana yang haram dan mana yang halal. Pak Ali Mufiz sangat mahfum masalah ini, karena beliau seorang ulama.
Akhirnya penulis mengucapkan selamat bertugas dan selamat beri-jihad fi sabilillah, perang melawan salah satu kemungkaran. Semoga Allah selalu memberikan petunjuk jalan yang benar kepada pasangan gubernur dan wakilnya. Amin. (18c)
- HM Harminto AP, anggota
.2. Pengertian Judi
Dalam Ensiklopedia
pertaruhan untuk memperoleh keuntungan dari hasil suatu pertandingan,
permainan atau kejadian yang hasilnya tidak dapat diduga sebelumnya.
Sedangkan Dra. Kartini Kartono[2] mengartikan judi adalah pertaruhan
dengan sengaja, yaitu mempertaruhkan satu nilai atau sesuatu yang
dianggap bernilai, dengan menyadari adanya risiko dan harapan-harapan
tertentu pada peristiwa-peristiwa permainan, pertandingan, perlombaan
dan kejadian-kejadian yang tidak / belum pasti hasilnya.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 303 ayat (3) mengartikan judi
adalah tiap-tiap permainan yang mendasarkan pengharapan buat menang pada
umumnya bergantung kepada untung-untungan saja dan juga kalau
pengharapan itu jadi bertambah besar karena kepintaran dan kebiasaan
pemainan. Termasuk juga main judi adalah pertaruhan tentang keputusan
perlombaan atau permainan lain, yang tidak diadakan oleh mereka yang
turut berlomba atau bermain itu, demikian juga segala permainan
lain-lainnya.
Dan lain-lainnya pada Pasal 303 ayat (3) diatas secara detil dijelaskan
dalam penjelasan Pasal 1 Peraturan Pemerintah RI Nomor 9 Tahun 1981
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban
Perjudian. Antara lain adalah rolet, poker, hwa-hwe, nalo, adu ayam, adu
sapi, adu kerbau, adu kambing, pacuan kuda dan karapan sapi.[3]
Dari pengertian diatas maka ada tiga unsur agar suatu perbuatan dapat
dinyatakan sebagai judi. Yaitu adanya unsur :
* Permainan / perlombaan. Perbuatan yang dilakukan biasanya
berbentuk permainan atau perlombaan. Jadi dilakukan semata-mata untuk
bersenang-senang atau kesibukan untuk mengisi waktu senggang guna
menghibur hati. Jadi bersifat rekreatif. Namun disini para pelaku tidak
harus terlibat dalam permainan. Karena boleh jadi mereka adalah penonton
atau orang yang ikut bertaruh terhadap jalannya sebuah permainan atau
perlombaan.
* Untung-untungan. Artinya untuk memenangkan permainan atau
perlombaan ini lebih banyak digantungkan kepada unsur spekulatif /
kebetulan atau untung-untungan. Atau faktor kemenangan yang diperoleh
dikarenakan kebiasaan atau kepintaran pemain yang sudah sangat terbiasa
atau terlatih.
*
yang dipasang oleh para pihak pemain atau bandar. Baik dalam bentuk uang
ataupun harta benda lainnya. Bahkan kadang istripun bisa dijadikan
taruhan. Akibat adanya taruhan maka tentu saja ada pihak yang
diuntungkan dan ada yang dirugikan. Unsur ini merupakan unsur yang
paling utama untuk menentukan apakah sebuah perbuatan dapat disebut
sebagai judi atau bukan.
Dari uraian di atas maka jelas bahwa segala perbuatan yang memenuhi
ketiga unsur diatas, meskipun tidak disebut dalam Peraturan Pemerintah
RI Nomor 9 Tahun 1981 adalah masuk kategori judi meskipun dibungkus
dengan nama-nama yang indah sehingga nampak seperti sumbangan, semisal
PORKAS atau SDSB. Bahkan sepakbola, pingpong, bulutangkis, voley dan
catur bisa masuk kategori judi, bila dalam prakteknya memenuhi ketiga
unsur diatas.
I.3. Jenis-Jenis Perjudian
Dalam PP No. 9 tahun 1981 tentang Pelaksanaan Penertiban Perjudian,
perjudian dikategorikan menjadi tiga. Pertama, perjudian di kasino yang
terdiri dari Roulette, Blackjack, Baccarat, Creps, Keno, Tombola, Super
Ping-pong, Lotto Fair, Satan, Paykyu, Slot Machine (Jackpot), Ji Si Kie,
Big Six Wheel, Chuc a Luck, Lempar paser / bulu ayam pada sasaran atau
papan yang berputar (Paseran). Pachinko, Poker, Twenty One, Hwa Hwe
serta Kiu-Kiu.
Kedua, perjudian di tempat keramaian yang terdiri dari lempar paser /
bulu ayam pada sasaran atau papan yang berputar (Paseran), lempar
gelang, lempar uang (Coin), kim, pancingan, menembak sasaran yang tidak
berputar, lempar bola, adu ayam, adu sapi, adu kerbau, adu
domba/kambing, pacu kuda, karapan sapi, pacu anjing, kailai,
mayong/macak dan erek-erek.
Ketiga, perjudian yang dikaitkan dengan kebiasaan yang terdiri dari adu
ayam, adu sapi, adu kerbau, pacu kuda, karapan sapi, adu domba/kambing.
Jika kita perhatikan perjudian yang berkembang dimasyarakat bisa
dibedakan berdasarkan alat / sarananya. Yaitu ada yang menggunakan
hewan, kartu, mesin ketangkasan, bola, video, internet dan berbagai
jenis permainan olah raga.
Selain yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah tersebut diatas, masih
banyak perjudian yang berkembang di masyarakat. Semisal “adu doro”,
yaitu judi dengan mengadu burung merpati. Dimana pemenangnya ditentukan
oleh peserta yang merpatinya atau merpati yang dijagokannya mencapai
finish paling awal.
Yang paling marak biasanya saat piala dunia. Baik di kampung, kantor dan
cafe, baik tua maupun muda, sibuk bertaruh dengan menjagokan tim
favoritnya masing-masing. Bahkan bermain caturpun kadang dijadikan judi.
Sehingga benar kata orang “kalau orang berotak judi, segala hal dapat
dijadikan sarana berjudi”.
Pada umumnya masyarakat
domino, rolet dan dadu. Namun yang paling marak adalah judi togel (toto
gelap). Yaitu dengan cara menebak dua angka atau lebih. Bila tebakannya
tepat maka sipembeli mendapatkan hadiah beberapa ratus atau ribu kali
lipat dari jumlah uang yang dipertaruhkan. Judi ini mirip dengan judi
buntut yang berkembang pesat pada tahun delapan puluhan sebagai ekses
dari SDSB / Porkas.
Dikutip dari : Buku Indonesia Negeri Judi by Haryanto
Salah satu iklan judi di internet
[1] Ensiklopedia Nasional Indonesia, Op. cit. hal. 474.
[2] Kartini Kartono, op. cit. , hal. 65
”Katakanlah, sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku (syariat Islam), sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan sebanyak itu pula” (QS; Alkahfi ayat 109).
Membicarakan syariat Islam ibarat berlayar di samudra tak bertepi. Luasnya melampaui semesta yang hanya diketahui oleh sang Pencipta.
Membicarakan syariat Islam ibarat berlayar di samudra tak bertepi. Luasnya melampaui semesta yang hanya diketahui oleh sang Pencipta.
Tulisan Anton Widyanto, Simplikasi Syari’at Islam (Opini Searambi 06/07/2007) yang menilai gagasan saya tentang “Perlunya Qanun Antimaksiat” (opini Serambi, 08/06/2007), banyak kerancuan khususnya dalam persoalan logika hukum. Anton mengkhawatirkan dapat mempersempit dan menodai kekaffahan syariat Islam itu sendiri. Saya sangat apresiatif atas kritikan Anton. Namun, sayangnya tidak memberi gagasan baru atas masalah itu, malah cenderung berceloteh dengan sejumlah pertanyaan. Siapa pun setuju bahwa implementasi syariat Islam tidak mudah dan butuh waktu, keseriusan seluruh stakholder (pihak).
Namun tetap terbuka memberi advis dan gagasan alternatif. Karena setiap muslim berkewajiban mencari, memahami hakikat dan hikmah dari syariat agamanya. Alquran surat Alkahfi di atas mengandung pesan sangat kuat dan tegas bahwa syariat Islam perlu terus dihujjah dalam upaya menjawab multidimensi masasalah ummat. Mencari format ideal di tengah sistem hukum nasional kadangkala membuat kita tidak sabar, saling menyalahkan dan saling menghujat. Menyatukan persepsi melalui kajian, tulisan opini dari beragam pemahaman tentang bagaimana syariat Islam yang luas itu dapat diformalkan dalam bentuk qanun, perlu upaya serius.
Gagasan qanun antimaksiat yang terkesan menyederhanakan masalah, salah satu usaha memberi gagasan ketika pelaksanaan syariat Islam itu sering kontraprduktif dengan semangat ke-Islaman. Misal, sweping maksiat yang dilakukan kelompok “swata” yang kadangkala mendatangkan maksiat lain (caci maki, kekerasan, menghancurkan tempat usaha kelompok ekonomi lemah dan lain-lain). Bahkan yang sangat memprihatinkan ada remaja yang mengaku WH melakukan pemerkosaan yang justru melanggar syariat (Serambi 12/07/2007). Menurut saya, di sini fungsi dan tugas ulama, dan cendikiawan muslim mempertegas rambu-rambu. Memperjelas segala macam bentuk maksiat agar tidak menolak satu maksiat dengan membiarkan maksiat. Atau penegakan syariat dengan maksiat.
Setiap kita sejatinya tidak perlu sok suci, arogan, saling menghujat, dan klaim kebenaran yang melahirkan kekerasan atas nama syariat. Kita berkeinginan jangan ada lagi penegakan syariat dengan melanggar syariat. Itu sama halnya menegakkan HAM dengan mengabaikan HAM orang lain atau menciptakan damai dengan memusnahkan manusia lain melalui perang. Mengutip Prof Dr H Alyasa’ Abubakar MA, guru besar hukum Islam IAIN Ar-Raniry dalam satu diskusi di YICM 26 Mei 2007, beliau mengatakan ”Bicara hukum termasuk syariat Islam sesungguhnya bicara bagaimana setiap orang dapat menunaikan kewajibannya pada saat bersamaan setiap orang juga mendapatkan haknya secara adil”.
Hukum, kata Prof Alyasa’, harus memenuhi empat aspek, demikian juga dalam penerapan syariah Islam. Pertama, adanya norma hukum, menyangkut materi hukum yang jelas dan meminilisir interpretasi dan resistensi (penolakan) oleh banyak orang. Kedua, bagaimana bentuk atau jenis hukuman yang akan dijatuhkan bagi yang mengabaikan (melanggar) ketentuan yang terdapat dalam materi hukum. Ketiga, adanya aparatur yang berhak menegakkan hukum (mulai dari penyidik, jaksa penuntut, sampai lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengadili). Keempat, adanya hukum acara sebagai prosedur dalam membuktikan atas dugaan pelanggaran hukum tersebut.
Akibat bersentuhan dengan budaya barat selama berabad-abad, hukum pidana syariah Islam belum pernah berlaku secara sungguh-sungguh. Dari kajian YICM, pelaksanaan syariat Islam di Aceh baru pada fase sosialisasi dan pengawasan (dinas Syari’at Islam via Wilayatul Hisbah) dan mahkamah Syari’ah.
Sedangkan penyidik dan jaksa penuntut serta hukum acara peradilan masih tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku Nasional yang non syariah (non Islami). Di sinilah kadangkala masyarakat sering menyalahkan dinas syariat Islam dan WH bila tidak bisa maksimal menindaklanjuti setiap pelanggar syariah. Padahal kewenangan kedua intitusi tersebut terbatas pada sosialisasi dan pengawasan dan tidak punya kewenangan sedikitpun untuk meneruskan proses hukum (menahan, menyidik yang kewenangannya ada pada polisi dan jaksa) setelah pelaku pelanggar syariat ditangkap untuk diajukan ke hadapan mahkamah syariah.
Maka pelaksanaan syariat Islam di Aceh terhadap pidana khalwat, judi, maisir masih terikat dengan peraturan lain yang ada diIndonesia .
Maka pelaksanaan syariat Islam di Aceh terhadap pidana khalwat, judi, maisir masih terikat dengan peraturan lain yang ada di
Dilematis memang. Satu sisi Aceh diizinkan merumuskan dan merancang hukum positif (qanun syariat). Namun di sisi lain tidak diperbolehkan memilih dan merancang aparat penegak hukumnya yang benar-benar berada dalam satu sistim hukum syariah itu sendiri. Jadi, belum ada mekanisme untuk menerapkan syariah Islam secara kaffah dalam suatu sistim yang totalitas syariah, melainkan berada dalam sub-sistim hukum nasional. Apa yang berlaku di nasional itu juga yang berlaku di Aceh.
Menarik mengutip pendapat Abdul Moqsith Ghazali dosen Universitas Paramadina dalam dialog yang dilaksanakan YICM akhir Mei 2007 lalu, bahwa penerapan syariah Islam di Aceh tidak semuanya berasal dari nash (sumber, red) yang dipahami dari Alquran. Dan itu tidak salah dan sangat lumrah. Menurutnya, ada suatu pra-kondisi yang telah berlangsung lama dalam sistim hukum positif Nasional yang diadopsi dari Belanda sebelumnya. Karenanya dibutuhkan waktu untuk sosialisasi dan terus mencari solusi perbaikan pelaksanaan syariat Islam sehingga bisa memperbaiki kondisi dan taraf hidup masyarakat yang menjadi objek dari pelaksanaan Syariat Islam itu sendiri. Melihat kondisi sosial saat ini yang masih dalam sistem dan struktur hukum, ekonomi, terjadi kecenderungan mempermanenkan kemiskinan dari ketidakadilan distribusi pendapatan terhadap masyarakat.
Miskinnya moral aparatur pemerintah yang tidak menjadi teladan bagi masyarakatnya juga turut memicu berbagai pelanggaran syariah. Kemaksiatan dalam sistim birokrasi yang korup, sistim politik yang rakus dan hedonis, ekonomi yang melahirkan pemilik modal yang kikir dan bakhil. Saya setuju, pelaksanaan syariat Islam tidak bisa ”bimsalabim abrakadabra”. Karenanya menjadi penting setiap qanun syariah Islam yang akan diberlakukan perlu adanya kajian ilmiah yang intens yang melibatkan partisipasi publik (ulama, cendikia, dan elemen masyarakat dari berbagai profesi) secara lebih maksimal. Jangan hanya mencomot hukum yang diterapkan di daerah atau negara lain. Diharapkan dapat meminimalisir kontradiktif dan resistensi dalam masyarakat. Beberapa qanun yang telah diterapkan saat ini (Aqidah, Ibadah, syi’ar Islam, khalwat, judi maisir) meniscayakan untuk direvisi karena banyaknya kelemahan.
Terutama istilah yang digunakan telah memberi celah multiinterpretasi umat, maka perlu ada batasan konkrit. Misal, ada pasal yang menyebutkan pelaksanaan syariat Islam juga menjadi tanggung jawab seluruh masyarakat--tidak jelasnya batasan, sehingga memberi peluang terjadinya aksi pengadilan jalanan oleh masyarakat sering berperan sebagai polisi, penyidik dan hakim sekaligus. Di sini batasan harus ada, sejauhmana tanggungjaab dan kewenangan masing-masing (pemerintah dan masyarakat). Sejatinya kajian perlu terus menerus mencari solusi atas berbagai kendala. Sebagaimana disinyalir Sofyan Saleh, kepala Mahkamah Syariah Provinsi Aceh dalam satu diskusi YICM. Katanya, meskipun mayoritas masyarakat Aceh adalah muslim namun banyak tantangan syariat Islam diterapkan.
Masih ada masyarakat yang phobia (alergi) terhadap syari’at Islam, banyak persoalan khilafiah di kalangan umat dan kurangnya perhatian terhadap kebijakan di bidang hukum; banyaknya anggota eksekutif (selaku yang mengusulkan qanun), parlemen (yang membahas dan mensahkan qanun) tidak mengerti hukum Islam. ”Disi lain perjuangan umat belum sinergis, dan rendahnya pemahaman serta rendahnya kesadaran masyarakat muslim terhadap Syari’at,” tukasnya. Tentu sebagai umat Islam terus berjuang dan bertanggungjawab supaya syariat Islam dilaksanakan secara adil dan membawa kemashlahatan umat di daerah ini. Lima tahun penerapan syariat Islam di Aceh, ternyata hanya sarat ephoria dengan simbolis, seremonial dan slogan. Wajar saja hal itu belum mampu memuaskan semua elemen masyarakat.
Saat ini bagaimana syariat Islam dapat menghentikan massif dan intensitas kejahatan di Aceh. Mulai kejahatan lingkungan, kriminal, dan kejahatan struktural. Kecuali itu pemerintah Aceh yang kini dipimpin gubernur Irwandi-Nazar, pasangan pilihan rakyat Aceh, bisa mengimplementasi dalam visi dan misi membangun Aceh secara nyata. Wallahua’lam
*) Penulis adalah Alumnus Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry, Biro Riset Kajian YICM dan Mantan Ketua Umum HMI Banda Aceh