Jumat, 23 April 2010

JUAL BELI YANG DI SERTAI UNDIAN

BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang Masalah
Islam melihat konsep jual beli itu sebagai suatu alat untuk menjadikan manusia itu semakin dewasa dalm berpola pikir dan melakukan berbagi aktivitas ekonomi. Pasar sebagai aktivitas jual beli, harus dijadikan sebagai tempat pelatihan yang tepat bagi manusia sebagai khalifah di muka bumi. Maka sebenarnya jual beli di dalam Islam merupakan wadah untuk memproduksi khalifah-khalifah yang baik di muka bumi.
Jual beli juag merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan oleh manusia untuk mencari nafkah, agar mereka bisa menjaga amanah yang diberikan oleh Allah SWT. kepadanya yaitu keluarga yang harus ditanggungnya. Sedangkan jual beli adalah salah satu pekerjaan yang benarkan oleh syariat agama dan tidak ada larangan larangan dalam melakukannya sebagaimana firman Allah SWT.
وَاَحَلَ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya: Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan ribha (Al-Baqoroh: 2 : 275).[1]

Hal yang menarik dari ayat tersebut Jual beli (trade) adalah bentuk dasar dari kegiatan ekonomi manusia. Kita mengetahui bahwa pasar tercipta oleh adanya transaksi jual beli. Pasar dapat timbul manakala terdapat penjualan yang menawarkan barang maupun jasa untuk dijual kepada pembeli. Dari konsep sederhan tersebut lahirlah sebuah aktivitas ekonomi yang kemudian berkembang menjadi suatu sistem perekonomian.
Konsep jual beli dalam isalm diharapkan menjadi cikal bakal dari sebuah sistem pasar yang tepat dan sesuai dengan alam bisnis. Sistem pasar yang tepat akan menciptakan sistem perekonomian yang tepat pula. Maka, jika kita ingin menciptakan suatu sistem perekonomian yang tepat, kita harus membangun suatu sistem jual beli yang sesuai dengan kaidah syariat Islam yang dapat melahirkan khalifah-khalifah yang tangguh di muka bumi ini. Hal tersebut dapat tercipta dengan adanya kerjasama antara seluruh elemen yang ada di dalam pasar yang disertai dengan kerja keras, kejujuran, dan dengan melihat peluang yang tepat dalm membangun bisnis yang dapat berkembang dengan pesat.
Dalam jual beli banyak strategi yang dilakukan para penjual untuk memperdagangkan dagangannya, salah satu strategi pemasaran yang sering dilakukan para pedagang pada zaman sekarang terhadap barang-barang yang dijualnya agar menarik hati para calon kosumen untuk membeli produk-produk yang dipasarkan, ialah dengan memberi iming-iming hadiah kepada para calon konsumennya. Ada beberapa cara yang dilakukan para pedagang dalam memberikan hadiahnya kepada para konsumen. ada yang dengan cara hadiah tersebut diberikan secara langsung kepada masing-masing konsumen yang membeli produk dalam jumlah tertentu dan ada pula yang diberikan dengan cara diundi, sehingga hanya konsumen yang memenangkan undianlah yang berhak menerima hadiah tersebut.
Alasan penulis mengangkat judul tengtang jual beli ini, ialah karena sudah banyak dikalangan masyarakat Indonesia melakukan jual beli semacam ini. Bahkan para penjual sudah banyak melakukan transksi jual beli yang untuk menarik para konsumen mereka menawarkan hadiah yang menggiurkan. Padahal barang yang dijual itu harganya lebih mahal dari pada harga pasarannya. Dengan kata lain kupon undian yang diberikan kepada para pembeli juga dijual, tidak diberikan dengan Cuma-Cuma. Padahal sebagimana yang kita ketahui, bahwa agama kita melarang kita untuk mengadu nasib dengan cara apapun. Dan hal tersebut dapat digolongkan kepada perbuatan mengadu nasib. Soalnya mereka membeli sebuah kupon hanya untuk mengadu nasib mereka, apakah mereka bisa mendapatkan hadiah yang menggiurkan tersebut apa tidak. Dan  dikarenakan hadiah yang menggiurkan jugalah para pembeli tidak lagi membahas tentang harga suatu barang. Apakah mereka dirugikan atau diuntungkan, melainkan mereka hanya ingin mendapatkan hadiahnya.
Oleh sebab itulah di makalah ini penulis akan sedikit membahas tentang “HUKUM JUAL BELI YANG DISERTAI UNDIAN BERHADIAH DALAM PERSEPEKTIF ISLAM” tersebut.
B.     Rumusan Masalah
Untuk lebih jelasnya permasalahan yang ada dalam makalah, maka rumusan masalahnya sebagai berikut
  1. Bagaiman hukum jual beli yang disertai undian berhadiah dalam persepektif Islam.
  2. Apa tujuan jual beli yang diesertai undian berhadiah tersebut.
C.     Tujuan Penulisan
Studi ini secara umum bertujuan untuk ingin mengetahui sejauh mana peran Islam dalam tuntutan jual beli, sedangkan secara khusus ingin mengetahui:
  1. Ingin mengetahui Bagaiman hukum jual beli yang disertai undian berhadiah dalam persepektif Islam.
  2. Ingin mengetahui tujuan para pedagang dalam jual beli yang disertai undian berhadiah.
D.    Metode Penulisan
Dalam mencapai suatu tujuan tertentu maka diperlukan cara-cara tertentu atau metode tertentu dalam hal ini yang perlu digunakn adalah pendekatan terhadap objek. Metode ini sendiri merupakan suatu cara atau alat yang fungsinya untuk mencapai tujuan dan metode ini harus relevan dengan tujuan yang hendak dicapai[2].
Metode yang digunakan penulis dalam penulisan makalah ini ialah metode dedukrif, yaitu menarik kesimpulan dari pernyataan umum menuju pernyataan khusus.
E.     Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan terdiri dari tiga BAB, tiap-tiap bab terdiri dari sub-sub bab, sebagai berikut.
BAB I: Pendahuluan yang membahas tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II: Pembahasan terdiri dari kajian-kajian dalil, fenomina-fenomina yang muncul, dan analisa masalah.
BAB III: Penutup terdiri dari kesimpulan dan saran-saran pemikiran gambaran dari isi makalah ini yang akan dibahas lebih lanjut, semoga bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan bagi penulis pada khususnya.






                                                                               
















BAB II
PEMBAHASAN

A.     Kajian Dalil
1.      Pengertian Jual Beli
Jual Beli (البيع) artinya menjual, mengganti , dan menukar (sesuatu dengan sesuatu yang lain), tapi kata al-bai’ kadang juga dipakai untuk istilah lawannya yaitu kata الشرأ (beli). Jadi dengan demikian kata al-bai’ bisa diartikan menjual sekaligus beli atau yang lazim dikatakan jual beli.[3]
Sedangkan menurut terminologi ulama’ berbeda pendapat tentang definisi jual beli diantaranya:
Ulama’ hanafiah mendefinisikan
مُبَادَلَةُ مَالٍ بِمَالٍ عَلَى وَجْهِ مَخْصُوْصٍ
Artinya: “saling menukarkan harta dengan harta melalui cara tertentu” atau[4]

مُبَادَلَةُ شَيْئٍ مِْن غُوْبٍ فِيْهِ عَلَى وَجْهِ مُقيْدٍ مَخْصُوْصٍ
Artinya: “tukar menujar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat”.[5]

Definisi yang dikemukakan ulama’ hanafiyah tersebut adalah, bahwa yang dimaksud dengan cara yang khusus adalah ijab qobul, atau juga bias melalui saling memberikan barang dan menetapkan harga antara penjual dan pembeli. Selain itu harta yang diperjual belikan itu harus bermanfaat bagi manusia, seperti mejual bangkai, minuman keras, dan darah tidak dibenarkan oleh syariat Isalm.
                        Sedangkan sayyid Sabiq mendifinisikan.
                        Sedangkan Imam An-Nawawi mendefinisikan
مُقَابَلَةُ مَالٍ بِمَالٍ تَمْلِيْكًا
Artinya: saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik[6].
dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa jual beli ialah suatu perjanjian tukar menukar antara satu benda dengan benda yang lain yang didasarkan oleh sukarela atau suka sama suka antara kedua belah pihak. Yang mana yang satu menerima benda-benda dan yang lainnya juga menerima benda dari yang pertama sesuai dengan yang dijanjikan. Dan bila terjadi tukat menukar barang yang tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan maka hal tersebut tidaklah dinamkan jual beli melainkan sebuah penipuan, dan hal tersebutlah yang tidak denarkan oleh hukum islam.
2.      Rukun dan Syarat Jual Beli
Di dalam jual beli terdapat beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi oleh pembeli maupun penjual agar usaha jual neli yang kerjakannya sah menurut hukum syara’. Dan apabila rukun dan sayarat tersebut tidak dipenuhi oleh kedua belah pihak maka jual beli yang dilakukannya dianggap tidak sah.
Dalam menentukan rukun jual beli banyak diantara para ulama’ yang berbeda pendapat, sedangkan menurut jumhur ulama’ rukun jual beli itu ada empat yaitu:
a.       Ba’i (Penjual)
b.      Mustari (pembeli)
c.       Sighat (Ijab Qabul)
d.      Ma’qud ’alaihi (Benda atau Barang)[7].
Jadi apabila dalam jual beli ada salah satu dari yang empat  tidak terlaksan maka jual beli tersebut dianggap tidak sah oleh syara’. Oleh sebab itu bila kita mau melakukan jual beli yang baik maka kita harus memenuhi rukun yang empat tersebut.
Selain rukun yang empat penjual dan pembeli juga harus memnuhi Syarat- Syarat jual beli yaitu:
a.       Ada Ijab-Qobul, yaitu Ada perjanjian untuk memberi dan menerima
1)      Penjual menyerahkan barang dan pembeli membayar tunai.
2)      Ijab-Qobulnya dilakukan dengan lisan, tulisan dan utusan.
3)      Pembeli dan penjual mempunyai wewenang penuh melaksanakan dan melakukan tindakan-tindakan hukum (dewasa dan berpikiran sehat)
b.      Memenuhi syarat menjadi objek transaksi jual-beli yaitu:
1)      Suci barangnya (bukan najis)
2)      Dapat dimanfaatkan
3)      Dapat diserahterimakan
4)      Jelas barang dan harganya
5)      Dijual (dibeli) oleh pemiliknya sendiri atau kuasanya atas izin pemiliknya.
6)      Barang sudah berada ditangannya jika barangnya diperoleh dengan imbalan.[8]
Jual beli barang yang tidak di tempat transaksi diperbolehkan dengan syarat harus diterangkan sifat-sifatnya atau ciri-cirinya. Kemudian jika barang sesuai dengan keterangan penjual, maka sahlah jual belinya. Tetapi jika tidak sesuai maka pembeli mempunyai hak khiyar, artinya boleh meneruskan atau membatalkan jual belinya. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi riwayat Al Daraquthni dari Abu Hurairah:
مَنْ سَتَرَشَيْئً تالميره فَلَهُ الْخِيَارُإِذَاَرَاهُ
Artinya: Barang siapa yang membeli sesuatu yang ia tidak melihatnya, maka ia berhak khiyar jika ia telah melihatnya".

Jual beli hasil tanam yang masih terpendam, seperti ketela, kentang, bawang dan sebagainya juga diperbolehkan, asal diberi contohnya, karena akan mengalami kesulitan atau kerugian jika harus mengeluarkan semua hasil tanaman yang terpendam untuk dijual. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum Islam:
اَلْمَشَقَةُ تَجْلِبَ التَّيْسِرَ
Kesulitan itu menarik kemudahan.
Demikian juga jual beli barang-barang yang telah terbungkus atau tertutup, seperti makanan kalengan, LPG, dan sebagainya, asalkam diberi label yang menerangkan isinya.
Sedangkan barang yang diperjual belikan harus suci dan halal, tidak boleh dari hasil curian dan barang yang najis, seperti darah, bangkai, anjing, dll. Sebab Allah telah jelas-jelas melarang kita untuk memperjual belikan barang yang haram dan tidak suci. Hal ini senada dengan hadits nabi Muhammad SAW. Yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Mulim yang berbunyi.
Artinya: dari Jahir r.a, Rosulullah SAW. Bersabda, sesungguhnya Allah dan Rosul-Nya telah mengharamkan menjual arak, bangka, babi, dan berhala. (HR. Bukhori dan Muslim)[9].

Allah dan Rosul-Nya juga melarang jual beli yang didalamnya ada unsur penipuan, kerena dalam jual beli yang mengandung unsur penipuan ada salah seorang yang dirugikan. Dan kebanyakan yang dirugikan ialah pihak pembeli, seperti menjual barang yang basah dicampur dengan barang yang kering, agar tibangannya lebih berat sedikit dari biasanya dan ini jelas-jelas menguntungkan bagi para pedagang dan merugikan bagi pembeli karena yang mereka terima tidak sebanding dengan apa yang mereka harapkan. Dan seperti menjual ikan yang masih ada di dalam air, karena sipembeli tidak tahu dengan keadaan ikannya maka sipenjual bisa saja menipu sipembeli dengan memberikan contoh yang palsu, dan hal ini sesuai dengan hadist nabi yang berbunyi:
لاَتَشْتَرُوْاالسَّمَكَ فِی الْمَاءِفَاءِنَّهُ غَرَدٌ
"Jangan kamu membeli ikan dalam air, karena sesungguhnya jual beli yang demikian itu mengandung penipuan". (Hadis Ahmad bin Hambal dan Al Baihaqi dari Ibnu Mas'ud)[10]

Jadi menjual barang yang tidak jelas keadaannya juga dilarang oleh Allah karena bisa saja barang tersebut tidak sesuai dengan harganya dan pembeli merasa dirugikan karena barang tersebut tidak sesuai dengan apa yang diharapkannya. Dan bisa saja jual beli tersebut mengandung unsur penipuan.
3. Pengertian Judi
Judi adalah pertaruhan dengan sengaja, yaitu mempertaruhkan satu nilai atau sesuatu yang dianggap bernilai, dengan menyadari adanya risiko dan harapan-harapan tertentu pada peristiwa-peristiwa permainan, pertandingan, perlombaan
dan kejadian-kejadian yang tidak atau belum pasti hasilnya, dan bisa membuat orang yang kalah merasa rugi dan kecewai
[11].
4. hukum judi
Semua ulama’ dakam berbagai madzhab bersepakat bahwa semua bentuk judi baik yang berupa permainan, perlombaan, maupun lotre hukmnya ialah haram, karena judi tersebut hanya bisa membahagiakan yang menang saja, dan membuat susah orang yang kalah. Padahal dalam syari’at Islam sudah diterangkan bahwa sesama umat islam dilarang menyakiti satu dengan yang lain.
Dan Allah SWT sendiri juga malarang umat manusia untuk melakukan judi, sebagaimana dalam firmannya dalam surat al-Maidah di bawah ini:
يَِِاَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْااِنَّمَا الْخَمْرُوَالْمَيْسِرُوَالاَنْصَابُ وَالاَزْلاَمُ رِجْزٌ مِنْ عَمَلَ الشَّيْطَن فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, ( berkorban untuk ) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”(QS. al Maidah: 90)[12]
Jadi dari kutipan ayat tersebut dapat kita simpulkan bahwa Allah SWT. Melarang kita untuk melakukan judi karena judi hanya akan membuat salah satu dari mereka sanang dan dan akan membuat yang lain akan merasa susah.
B.     Fenomina-Fenomina Yang Muncul
1.      Hukum Jual Beli Yang Disertai Undian Berhadiah
Di beberapa produk kita sering menemukan adanya pemasaran yang dilakukan dengan pemberian hadiah kepada orang yang membeli produk tersebut. Hadiah tersebut ada yang diberikan secara langsung, ada yang diberikan secara diundi, dan ada pula yang melaui kuis yang diselenggarakan oleh produsen barang tersebut. Apalagi mendekati momen-momen penting seperti hari raya Iedul Fithri dan lainnya, banyak berbagai hadiah yang dijadikan iming-iming untuk meningkatkan angka penjualan.
Dari persoalan di atas penulis di sini akan sedikit memaparkan tentang hukum jual beli yang disertai dengan kupon berhadiah tersebut, soalnya jual beli yang disertai hadiah ada yang diperbolehkan dan ada pula yang diharamkan.
a.       Jual beli yang disertai undian berhadiah yang diperbolehkan
Ada beberapa jual beli yang disertai kupon berhadiah yang diperbolehkan oleh hukum syara’ diantaranya:
1)      Memberi sesuatu kepada orang yang membeli sejumlah barang tertentu sebagai tambahan atau hadiah hukumnya boleh. Jual beli tersebut juga sah. Tambahan tersebut termasuk hibah dan hukumnya juga sah.
2)      Meletakkan hadiah tertentu yang diketahui dengan jelas (ma’lûm) di dalam barang tertentu yang juga diketahui dengan jelas (ma’lûm) barangnya, seperti sendok, jam anak-anak, dan sebagainya; atau di dalamnya diletakkan satu lembaran yang tertulis hadiah, agar pembeli yang mendapatkannya pergi ke pedagang tersebut untuk mengambil hadiah atau bonus yang diketahui dengan jelas tertulis di lembaran tersebut, maka praktek seperti ini juga boleh. Jual-beli itu pun hukumnya sah selama barang yang dibeli tersebut diketahui dengan jelas (ma’lûm), misalnya (kotak plastik dan di dalamnya terdapat kotak kecil sebagai hadiah). Jual beli ini pun sah, karena harga kotak plastik yang di dalamnya terdapat jam yang merupakan hadiah tersebut telah dibayar. Jika di dalamnya ternyata tidak ada hadiahnya, maka itu juga boleh. Karena yang dibeli adalah kotak plastik, dan telah dibayar harganya. Penjual tidak terikat untuk memberikan hadiah di kotak plastik tersebut. Jika di dalamnya ada hadiah hukumnya juga boleh. Dan jika tidak ada pun hukumnya juga boleh.
3)      Jual beli yang disertai kupon undian berhadiah yang dimaksudkan untuk shodaqoh masjid, dan hadiahnya tidak diambilkan dari hasil jual beli yang disertai kupon tersebut, jadi hokum jual beli tersebut menurut sebagian ulama’ hukumya ialah sah.[13]
Jual beli suatu benda yang disertai hadiah, baik hadiah tersebut diberikan secara langsung maupun diundi dengan tujuan agar para konsumen tertarik untuk membeli produk-produk yang dipasarkan adalah sah dan halal. Sebab Tambahan tersebut termasuk hibah, dan hukumnya sah. dengan syarat-syarat sebagai berikut.
1)      Hadiah yang diberikan harus halal dan sesuai dengan yang dijanjikan[14], maka apabila hadiah tersebut tidak halal atau tidak sesuai dengan yang dijanjikan maka jual beli tersebut tidak halal dan tidak sah. Hal ini dikarenakan adanya unsur penipuan, yang mana penjual telah menipu para pembeli sehingga hanya  penjuallah yang mendapat keuntungan sedangkan para pembeli merasa dirugikan. Jika hadiah berupa benda yang haram seperti minuman keras dan barang yang-barang yang najis. Maka jual beli tersebut tidak sah dan tidak dibenarkan oleh agama. Demikian juga jika hadiah yang diberikan tidak sesuai dangan yang dijanjikan, maka hal tersebut dinilai sebagai suatu penipuan sehingga mengandung unsur dosa. Dan kerena hal tersebut mengandung unsur penipuan maka hal tersebutlah yang membuat jual beli tersebut tidak sah bahkan bisa menjadi haram.
2)      Dan hadiah juga tidak boleh mengandung unsur judi, dengan artian hadiah tersebut benar-benar merupakan pemberian yang bersifat Cuma-Cuma sebagai bagian dari promosi penjualan (sales promotion). Dengan demikian, seandainya  para konsumen tidak beruntung mendapatkan hadiah maka mereka tidak merasa dirugikan. Sedangkan kualitas barang yang diperjual belikan harus sesuai dengan standart dan harganya tidak lebih tinggi dari harga pasarannya. Sehingga para pembeli tidak merasa rugi untuk membelinya.
3)      Harga barang tidak naik. Kebanyakan undian berhadiah memang tidak disertai kenaikan harga produk. Undian tersebut hanyalah usaha persuasif dari produsen untuk meningkatkan daya beli konsumen. Dan menurut beliau mengikuti undian semacam ini adalah boleh. Sebab, saat membeli produk yang terdapat undian tersebut,  jumlah uang yang dikeluarkan memang sebanding dengan nilai barang yang dibeli. Menang atau tidak, pembeli tidak dirugikan[15]
b.      Jual beli yang disertai kupon berhadiah yang diharamkan
Ada saja ulah penipu mengelabui korbannya. Mulai dari cara tersamar hingga terang-terangan. Dengan iming-iming hadiah bernilai jutaan rupiah, modus operandi yang dilancarkan acap memikat korbannya. Model penipuan undian berhadiah ini memang sulit dilacak. Sebab, terkadang pelaku menggunakan identitas palsu. Sementara korban terus berjatuhan. Masyarakat harus waspada. SELARAS makin canggihnya alat komunikasi, maka aksi tipu-tipu juga tak kalah canggih. Tak hanya lewat SMS, mendompleng promosi berhadiah yang ditawarkan produk operator seluler, namun juga dengan cara memberikan kupon dalam kemasan berbagai produk kebutuhan rumah tangga.
Ada beberapa jual beli yang disertai kupon berhadiah yang diharamkan menurut sayriat Islam seperti:
1)      Adapun menjual kotak yang tertutup dan tidak diketahui apa sisi di dalamnya, kadang kotak itu kosong, kadang di dalamnya ada barang yang nilainya di atas harga yang dibayarkan, atau sama, atau kurang dari harga yang dibayarkan, maka yang seperti ini adalah jual-beli yang bersifat manipulatif (bai’ al-gharar). Jual beli seperti ini tidak boleh.
2)      Dicantumkannya nomor di barang tertentu yang sudah diketahui dengan jelas (ma’lûm), lalu pemiliknya dikenakan pungutan keikutsertaan dalam memperebutkan hadiah, maka praktek ini lebih layak disebut al-maysir (judi). Hal itu karena di dalam praktek al-maysir (al-qimâr/judi), pihak yang menang mendapatkan dari pihak yang kalah, atau pihak yang beruntung mendapatkan dari pihak yang tidak beruntung. Setiap perkara di mana di dalamnya beberapa orang terlibat dalam bentuk, bahwa yang menang akan mendapatkan dari yang kalah, maka praktek seperti ini termasuk judi.
3)      transaksi jual beli yang disertai hadiah secara diundi terhadap suatu benda yang kualitasnya dibawah standart dengan harga yang lebih tinggi dari harga pasaran, jelas transaksi jual beli tersebut tidak sah dan tidak halal karena mengandung unsur judi. Karena dengan demikian, kupon hadiah yang akan di undi untuk mendapatkan hadiah bukan merupakan pemberian Cuma-Cuma, melainkan secara tidak langsung di jual kepada pembeli barang dengan uang (harga) yang sudah di tambahkan kedalam harga penjualan barang. Dengan demikian, secara tidak langsung kupon undian tersebut di perjual belikan kepada pembeli barang, yang jika dia tidak mendapatkan hadiah maka akan rugi, sedang kan pihak penjual akan beruntung. Inilah yang di sebut Judi. Hal ini diamabil dari definisi judi[16]
karena semua hal tersebut mengandung penipuan dan juga mengandung unsur judi maka hal tersebutlah yang tidak diperbolehkan oleh hukum Islam. hal ini senada dengan firman Allah SWT. Yang telah disebukan di atas.
Jual beli yang mendapat berkat dari Allah SWT, adalah jual beli yang jujur, bukan jual beli yang mengandung unsur pnipuan, curang, serta penghianatan.
Dan sabda Rosulullah
اِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ (رواه البيهقى)
Jual beli atas dasar suka sama suka (HR. Baihaqi)
اَلتَّاجِرُ الصُّدُوْقُ الاَمِيْنُ مَعَ النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِقِيْنَ وَالشُّهَدَأِ (رواه الترمذى)
Artinya: pedagang yang jujur dan terpercaya sejajar (tempatnya di surga) dengan para nabi, siddiqin dan syuhada’. (At-Tirmidzi).[17]
Ayat dan hadits di atas sudah jelas bahwa jual beli itu hukumnya mubah (boleh) namun hukumnya bias berubah menjadi wajib dalam situasi tertentu.
C.     Analisa
Sebagaimana yang telah diterangkan dalam jual beli bahwasanya pada zaman sekarang ini ijab dan qobul tidak lagi diucapkan, tetapi dilakukan dengan tindakan bahwa penjual menyerahkan barang dan pembeli menyerahkan uang dengan harga yang telah disepakati, seperti yang berlaku di toko swalayan dan toko-toko pada umumnya.
Ulama’ fiqh sepakat menyatakan, bahwa urusan utama dalam jual beli adalah kerelaan kedua belah pihak. Kerelaan ini dapat terlihat pada saat akad berlangsung. Ijab qobul harus diungkapkan secara jelas dalam transaksi yang bersifat mengikat kedua belah pihak seperti akad jual beli.
Tidak menutup kemungkinan harapan di atas tidak akan terwujud bilamana kita sebagai umat Islam sendiri tidak mengerti tentang hukum jual beli yang sebenarnya apalagi yang sudah berlaku di toko-toko besar, jual beli yang disertai kupon berhadiah yang menggiurkan, karena hanya ingin menarik para kosumen untuk berbelanja di tempat mereka. Sekalipun dengan cara menipu mereka.










BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
1.      Tujuan dalam jual beli yang disertai kupon berhadiah ialah untuk menarik para konsumen, agar mereka berbelanja di tempat tersebut. Para pemilik toko tersebut menawarkan hadiah yang menggiurkan kepada para konsumen agar barang dagangannya cepat laku di pasaran.
2.      Hukum jual beli dengan memberikan iming-iming hadiah tersebut ada dua. Yaitu:
a.       Boleh dengan syarat
1)      Harga barang tidak naik
2)      Hadiah yang diberikan harus halal dan sesuai dengan yang dijanjikan
3)      Dan hadiah juga tidak boleh mengandung unsur judi
b.      Haram apabila
1)      Harga barang naik
2)      Hadiah yang diberikan tidak halal atau berupa barang najis dan tidak sesuai dengan yang dijanjikan
3)      Dan dalam transaksi tersebut mengandung unsur judi
B.     Kritik dan Saran.
Dari penulisan makalah ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan oleh sebab itu kritik dan saran yang sifatnya membangun tetap penulis harapkan demi sempurnanya makalah ini, dan apabila dalam tulisan ini ada yang salah baik itu dari kalimat ataupun susunannya kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.



DAFTAR PUSTAKA
Ø      Dr. H. Haroen Nasrun, MA., Fiqih Muamalah (Jakarta:Gaya Media Pratama, 2007)
Ø      Ibrahim bin Fathi, Uang Haram (Jakarta:Amzah, 2006)
Ø      Dr. H. Suhendi Hendi, M.Si., Fiqh Muamalah, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2007)
Ø      Rasyid M. Hamdan, MA., Fiqh Indonesia, Kumpulan Fatwa-Farwa Aktual (Jakarta:Al-Mawardi Prima, 2003)
Ø      Prof. Dr. H. Syafei Rachmat, MA., Fiqh Muamalah (Bandung:Pustaka Setia, 2006)
Ø      Hasil Keputusan Bahtsul Masail Nahdhotul Ulama’ Wilayah JATIM, Thn. 79-86, Pengurus NU Jatim Surabaya


[1] Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah (Bandung:Pustaka Setia, 2006), hal. 74
[2] Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Sosial (Bandung:Bandar baju, 1996) hal. 86
[3] Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah (Jakarta:Gaya Media Pratama, 2007), hal.111
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Ibid, 112
[7] Rachmat Syafei, op.cit., hal. 76
[8] M. Hamdan Rasyid, Fiqh Indonesia, Kumpulan Fatwa-Farwa Aktual (Jakarta:Al-Mawardi Prima, 2003), hal. 126
[9] Ibrahim bin Fathi, Uang Haram (Jakarta:Amzah, 2006), hal. 271
[10] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 81
[11] Kartini Kartono, op. cit. , hal. 65
[12] QS. al Maidah(3 ): 90
[13] Hasil Keputusan Bahtsul Masail Nahdhotul Ulama’ Wilayah JATIM, Thn. 79-86, Pengurus NU Jatim Surabaya, hal. 191
[14] M. Hamdan Rasyid, op.cit., hal. 128
[15] Op.cit.
[16] Op.cit., hal. 129
[17] Nasrun Haroen, op.cit., hal. 114

Tidak ada komentar:

Posting Komentar