NAMA : AHMAD ROSIDI
SEMESTER :
JURUSAN/FAKULTAS : PAI/TARBIYAH (IAINJ)
A. KEBIJAKAN PENDIDIKAN TENTANG KURIKULUM PENDIDIKAN TAHUN 1966-2003 DAN TUJUAN PENDIDIKAN
1. TUJUAN PENDIDIKAN TAHUN 1966
Dasar pendidikan adalah falsafah negara Pancasila, tujuan pendidikan adalah membentuk manusia Pancasila sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang dikehendaki oleh Pembukaan dan isi UUD 1945. hal tersebut tercantum dalam (TAP MPRS No. XXVII/1966 Bab II Pasal 3)
2. TUJUAN PENDIDIKAN NASIONAK TAHUN 1973
Tujuan pendidikan ialah membentuk manusia-manusia pembangunan yang Pancasila dan untuk membentuk manusia Pancasila yang sehat jasmani dan roani, memiliki pengetahuan dan keterampilan, dan mengembangkan aktivitas dan tanggung jawab, dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur, mencintai bangsanya dan mencintai sesama manusia sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam UUD1945. tujuan ini trcantum dalam (TAP MPR No. IV/MPR/1973)
3. TUJUAN PENDIDIKAN TAHUN 1978
Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan bertujuan meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian, dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa. Hal ini tercamtum dalam (TAP MPR No. IV/MPR/1978)
4. TUJUAN PENDIDIKAN TAHUN 1989
Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan,kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Hal ini tercantum dalam (Bab II Pasal 4 UU RI No. 2 tahun 1989)
5. TUJUAN PENDIDIKAN TAHUN 2003
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional : Peraturan perundang-undangan ini disahkan tanggal 8 Juli 2003. Undang-undang ini merupakan pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, fungsi pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Sedangkan tujuan pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dibandingkan dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 1989, Undang-Undang No. 20/2003 memuat lebih banyak aturan baru terutama yang mendukung aspek akuisisi pengetahuan, penciptaan pengetahuan dan penyebaran pengetahuan. Hal ini tercantum dalam (Undang-undang No. 20 Tahun 2003)
B. ANALISIS KOSEP KURIKULUM 1966-2003
Latar belakang (kondisi masyarakat) :
Kalau dalam tahun 1966 hanya disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah membentuk manusia Pancasilais sejati tanpa dirinci bagaimana gambaran manusia ideal itu, maka, dalam rumusan tahun 1973, gambaran manusia idaman Indonesia itu agak jelas: yaitu manusia pembangun, berpancasila, sehat jasmani dan rohaninya, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, dan bertanggung jawab. Ada tujuh ciri manusia pancasilais yang disebutkan dalam tujuan pendidikan nasional itu. Disebutkannya ciri kesehatan rohani menempatkan pendidikan agama pada posisi yang penting (sebagai sarana untuk mencapai tujuan itu), walaupun masih bisa diperdebatakan pula apakah orang yang sehat rohaninya itu mesti harus orang yang taat beragama. Bukankah melalui latihan batin dan berfilsafat orang juga bisa sampai pada kesehatan rohani? Walaupun lebih maju dari rumusan sebelumnya, rumusan tujuan pendidikan nasional tahun 1973 ini tidak secara eksplisit menunjukkan sifat konfessional pendidikan agama di sekolah.
Pada tahun 1978, posisi pendidikan agama di sekolah ini bergeser lagi agak ke tengah. Dalam Tap MPR tahun 1978 tentang GBHN, rumusan pendidikan nasional itu berubah (disempurnakan) lagi menjadi "Pendidikan nasional berdasarkan atas Pancasila dan bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, ketrampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia pembangun yang dapat membagnun dirinya sendiri dan bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa." Dibandingkan dengan rumusan tahun 1973, rumusan tujuan pendidikan nasional tahun 1978 ini sedikit lebih jelas dalam hal sifat pendidikan agama. Pendidikan agama, yang merupakan sarana untuk pembinaan kerohanian di sekolah, harus diarahkan untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sifat konfessional pendidikan agama di sekolah makin jelas dalam rumusan tujuan pendidikan nasional.
Rumusan tujuan nasional ini tidak diubah dalam tahun 1983, ketika MPR merumuskan GBHN untuk periode berikutnya. Namun pada tahun 1988, rumusan tujuan pendidikan nasional ini kembali mengalami revisi. Dalam GBHN yang ditetapkan oleh MPR di tahun 1988, aspek kerohanian manusia idaman Indonesia itu ditambah dengan unsur 'beriman' sehingga rumusannya menjadi: "Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila bertujuan untuk meningkatkan kwalitas manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, bertanggung jawab, mandiri, cerdas dan terampil, serta sehat jasmani dan rohani." Jelaslah bahwa rumusan ini makin menegaskan sifat konfessional pendidikan nasional Indonesia. Manusia ideal Indonesia yang ingin dibentuk melalui pendidikan nasional, di samping harus memiliki sifat-sifat yang berkaitan dengan iptek, harus memiliki rasa keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian, makin jelaslah bahwa pendidikan agama yang harus diberikan di sekolah adalah pendidikan agama konfessional, pendidikan agama yang akan membuat siswa menjadi orang yang beriman dan bertaqwa. Karena pendidikan agama di Indonesia diberikan berdasar agama siswa, maka interpretasi iman dan taqwa itu adalah menurut agama masing-masing. Interpretasi ini, walau bisa diperdebatkan secara ilmiah, lebih cocok dengan policy pemerintah yang menginginkan adanya kerukunan beragama antara pemeluk agama yang berbeda-beda di Indonesia serta semboyan bangsa "Bhineka Tunggal Ika". Perbedaan tafsiran mengenai isi iman dan taqwa di antara berbagai agama diakui, tapi perbedaan itu tidak boleh membahayakan persatuan bangsa. Berdasarkan rumusan ini, maka, di samping harus ahli di bidang iptek, seorang alumni pendidikan di Indonesia harus juga taat beragama. Ketiadaan salah satu sisi dari dua ciri itu harus dianggap sebagai ketidak sempurnaan lembaga pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan nasional. Namun rumusan tujuan pendidikan nasional yang ideal ini masih belum didukung oleh pelaksanaan. Berdasarkan ketentuan dalam GBHN, hanya di sekolah negeri sajalah pendidikan agama wajib diberikan sedangkan di sekolah swasta hal itu hanya bersifat sukarela. Walaupun banyak sekolah swasta yang juga memberikan pendidikan agama, tetapi secara hukum pemerintah tidak bisa menindak sekolah swasta yang, karena berbagai alasan, tidak memberikan pendidikan agama kepada siswanya. Dengan asumsi bahwa pendidikan agama di sekolah, merupakan usaha formal sekolah itu untuk mencapai sisi kerohanian tujuan pendidikan nasional, sekolah swasta yang tidak memberikan pendidikan agama kepada siswanya berarti tidak berusaha secara formal untuk mencapai sisi kerohanian tujuan pendidikan tersebut. Mungkin karena kesadaran akan hal inilah maka, dalam UU no 2/1989, ditetapkan bahwa pendidikan agama wajib diberikan dalam kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan (Pasal 39, ayat (2), UU no. 2/1989). Dengan ketetapan ini, maka kini pendidikan agama menjadi wajib diberikan bukan saja di sekolah negeri tapi juga di sekolah swasta, bukan saja di jalur pendidikan sekolah (termasuk pendidikan kedinasan, luar biasa, dan professional), tapi juga di jalur pendidikan luar sekolah (seperti kursus-kursus ketrampilan).
Dalam Undang-Undang RI No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 1, diungkapkan yang dimaksud dengan pendidikan adalah: “Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara” (UU RI No 20 Tahun 2003) dari defenisi pendidikan tersebut, dengan jelas terungkap bahwa pendidikan indonesia adalah pendidikan yang usaha sadar dan terencana, untuk mengembangkan potensi individu demi tercapainya kesejahteraan pribadi, masyarakat dan negara. Persoalannya kemudian adalah, apakah yang menjadi pijakan bagi usaha “perencanaan sadar” tersebut?, Serta apa yang menjadi sasaran standar bagi individu, masyarakat dan negara? Pencarian jawaban atas pertanyaan ini sangat penting untuk dicari, sebagai pagangan bagi seluruh insan pendidikan khususnya dan bangsa indonesia umumnya. Insan pendidikan mulai dari guru, sebagai operator pendidikan, sampai dengan menteri, sebagai pejabat khusus penanggung jawab pendidikan, haruslah mengetahui dengan tepat apa yang menjadi landasan dalam perencanaan pendidikan Indonesia. Pengetahuan mengenai landasan akan menghindarkan pendidikan dari proyek coba-coba dan ganti menteri ganti kurikulum. Pengetahuan mengenai landasan pendidikan Indonesia oleh para guru, akan membuat pelajaran menjadi lebih bermakna. Kebermaknaan ini karena guru di dalam kelas mengetahui untuk apa, mengapa, dan karena apa dia melakukan proses pendidikan di kelas. Demikian juga dengan siswa, akan merasa lebih nyaman untuk belajar, karena mengetahui alasan dan tujuan ia menginvestasikan waktu mudanya untuk belajar di kelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar